Bahagianya Jadi Guru
Seyogyanya bahagia adalah salah satu
rasa yang dirasakan setiap insan, bahagianya seseorang, jika dapat diukur
berdasarkan banyaknya
keuntungan
yang
diperolehnya. Tolak ukur
apa yang
mencerminkan seorang guru bahagia? besarnya tunjangan? kehidupan yang layak? atau kesejahteraan ekonomi
sosial?. Bisakah kata bahagia disandingkan
dengan kata guru?. Berikut ulasan dari bahagianya
seorang guru.
Guru honor menerima upah per jam, namun tetap rajin melaksanakan
tugasnya, datang ke
sekolah tepat waktu, menerima tawaran pekerjaan di beberapa
sekolah
demi memenuhi kebutuhan hidup, jika
dilihat dari sudut pandang
ekonomis
tak
masuk
akal orang dapat berbahagia melaksanakan
hal itu, betapa lelahnya mengatur waktu dan mengatur tenaga demi sesuap nasi hanya karena gelar yang disandang adalah S.Pd.
Guru yayasan lebih baiklah nasibnya dari guru honor, tunjangannya walau berawal juga di bawah Rp.500.000,- namun lambat laun meningkat melalui penilaian kinerja guru dari pihak yayasan. Hal ini tidak juga merata di setiap yayasan, ada juga yayasan yang belum memperjuangkan kondisi hidup gurunya. Banyak
guru
yayasan yang mengeluh
sebab salah satu aturan yayasan adalah tidak boleh mengajar di sekolah lain di saat jam kerja yayasan, artinya guru tidak bisa mencari tambahan keuangan.
Akhirnya guru yayasan mengorbankan
waktu
dan tenaga mencari tambahan seusai jam kerja
di sekolah yang di tetapkan
oleh yayasan. Apakah tindakan ini terlihat bahagia di mata masyarakat?. Lalu bagaimana kisah guru yang telah menjadi Pegawai Negeri Sipil, ada kalanya kondisi stabil karena tunjangan yang cair tepat waktu, dan ada kalanya guru PNS juga berdemo sebab tunjangan
yang tak kunjung cair padahal kehidupan terus berjalan.
Seorang guru ingin terlihat kompeten dan mendapat penghasilan tambahan setiap tahun maka harus berkorban menyisihkan waktu dan
tenaga, mengorbankan keluarga, bahkan peserta didik guna
mengikuti Program Profesi Guru, mengikuti kuliahjarakjauh, mengikuti ujian yang sebagai penentu
kelulusan, walau terkesan tak adil, sebab kelulusan
hanya diputuskan oleh
hasil ujian, tanpa melihat keseharian guru tersebut di sekolah.
Setelah melihat realita yang terjadi, ternyata tak menyurutkan
semangat para guru, baik guru honor, guru yayasan dan guru PNS. Proses pendidikan sampai kini tetap berjalan, walau penuh tuntutan
perubahan
kurikulum dan segala administrasi yang harus dipenuhi. Juga tak membuat Fakultas Pendidikan di universitas-universitas
tutup, sebab guru tetap sebagai profesi yang sangat dibutuhkan di masyarakat.
Para guru tetap berjalan
di panggilannya, bahagianya guru
ternyata bukan diukur
dari nilai mata uang yang diterima, besar kecilnya pendapatan tak sebanding saat mengetahui bahwa peserta didik paham apa yang telah diajarkan. Guru bahagia
saat peserta didiknya jujur
dan
berkarakter baik, guru bahagia saat
melihat bahwa anak didiknya telah berhasil mencapai cita• citanya dan berguna bagi masyarakat.
Cacian orang tua memang dapat melukakan hati guru, namun terobati ketika mengetahui peserta didik yang awalnya tidak tau menjadi tau, yang awalnya berperilaku buruk berubah menjadi peserta didik yang beretika. Nyatalah guru bahagia walau memiliki banyak utang, walau tunjangan belum mencapai upah minimum regional, sebab tolak ukur bahagianya guru bukan kesejahteraan sosial tapi kesejahteraan hati yang diperoleh dari tambang emas hasil tempaannya selama ini.
Layaklah
kata bahagia disandingkan dengan kata guru, sekaligus menjadi doa, sebab ucapan adalah doa, semoga semua guru selalu
berbahagia karena menuai yang baik dari yang telah ditaburkan.
Comments
Post a Comment